
Seperti yang dikatakan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED) yang diketuai Brundtland dalam laporannya mengatakan bahwa lingkungan tidak mungkin dilindungi bila pertumbuhan tidak memperhitungkan biaya-biaya kerusakan lingkungan.
Melihat permasalahan pembangunan tersebut, maka muncul pemikiran untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu generasi masa kini dan masa depan (UUPLH 1997 pasal 1 (3) dan pasal (3).
Namun pembangunan berkelanjutan memiliki kelemahan yaitu :- Konsep pembangunan berkelanjutan hanya merupakan komitmen, sedangkan realisasinya sulit diukur dari segi waktu (kapan bisa tercapai). Karena begitu sulit mengukur realisasi waktu secara agenda, maka dengan mudah pula agenda diabaikan.
- Paradigma pembangunan berkelanjutan didasarkan kepada cara pandang yang sangat antroposentris, yakni cara pandang bahwa 'alam hanya sekedar alat pemenuh kebutuhan manusia'
- Asumsi bahwa manusia bisa menentukan daya dukung ekosistem lokal dan regional. Mengasumsikan bahwa manusia berkemampuan untuk mengetahui batas alam dan mengeksploitasi sumber-sumber alam itu didalam batas-batas daya dukung tadi, padahal manusia tidak menyadari bahwa alam memiliki kekayaan dan kompleksitas yang begitu rumit jauh melampaui kekayaan IPTEK hasil karya manusia
- Paradigma pembangunan berkelanjutan justru bertumpu pada ideology matrealisme yang tidak tidak diuji secara kritis, tetapi diterima begitu saja. Hal yang dilematis disini adalah, semua negara justru dianjurkan untuk mengikuti jalan salah yang ditempuh negara-negara industri yang terpacu oleh semangat matrealisme; hal yang patut dikoreksi oleh pembangunan berkelanjutan justru mengulangi kesalahan yang sama.